Ibu, Sebenar-benar Guruku



0 c o m m e n t s

photo credit here

Bu,

Untuk sekian kalinya aku tulis surat dan tak pernah bosannya aku menulis cerita tentangmu. Tapi ini bukan lagi ceritaku tentang kuliah atau curhatku tentang kekasih seperti yang dulu selalu aku sampaikan ke Ibu. Tapi ini cerita tentang semua kisah kita dulu, Bu. Berharap saja, aku masih bisa mengingat semuanya. Tapi tunggu dulu, kali ini Ibu tak perlu lagi membalasnya. Ibu cukup membacanya saja karena tulisanku kali ini lebih mudah dibaca dan tersusun rapi. Tentu saja, karena suratku kali ini aku ketik. Aku masih ingat tiap kali menerima suratku. Makin hari bukannya makin rapi, tulisanku malah makin ga jelas dibaca :)

Hm, entah kenapa ya Bu, dulu aku suka sekali cerita lewat surat. Padahal melalui telepon pun kita sebenarnya bisa. Katamu, biar aku terbiasa menulis. Katamu, biar suatu saat aku bisa mencipta satu cerita panjang. Aku pun berharap begitu, Bu. Nyatanya, sampai sekarang cerita-ceritaku hanya teronggok di laci meja. Tak kunjung selesai. Dan sekarang, rasa-rasanya aku sudah lama sekali tak pernah cerita lagi ke Ibu. Sepertinya, kau pun tak mau lagi baca kisah-kisahku mengingat tulisanku yang makin acak-acakan.

"Mata Ibu pedas baca tulisanmu, Nak. Mata Ibu makin menua."

Sejak itu, aku tak pernah lagi berkirim surat. Kita berbagi cerita di teras rumah, di meja dapur, atau di depan tv yang menyala. Meski, lagi-lagi aku yang mendominasi cerita, toh Ibu selalu berbinar mendengar semua ceritaku. Bu, Aku baru sadar tentang alasanmu yang mulai enggan baca kisahku. Itu karena kesehatanmu yang sudah mulai menurun.

Falling Leaves: the true story of an unwanted chinese daughter



0 c o m m e n t s

 Title: Falling Leaves
Author: Adeline Yen Mah


What a Novel !!
I'm sure, u wouldn't wonna put it aside & finish later :))

Yess, it's a true story about a Chinese girl growing up in China before the second World War and her migration to USA. It includes a psychoanalytic approach to writing a novel, in which the author has looked back on her personal & intimate life and recalls some of her worst memories, great memories, and not-so-bad thoughts of her life experiences. 

 *****

Selain pada isi cerita yg mengharu-biru, keistimewaan dari novel ini juga terletak pada settingnya. Jadi, di samping menampilkan latar orientalis yang sangat kental, Adeline juga melukiskan situasi perpolitikan China sejak akhir abad XIX di bawah kekuasaan Dinasti Qing sampai era Deng Xiaoping di akhir abad XX. Walhasil, novel ini memotret 2 sisi; sejarah individu & sejarah sebuah bangsa sekaligus. 
Sadly, beragam peristiwa sejarah tersebut tidak semuanya tersorot secara mendetail, khususnya sejarah pembebasan bangsa China sendiri ketika lepas dari imperialisme asing (Eropa). 

But, out of the plot, it's really an inspiring novel that smart & honest, dan.. tentu saja sangat menyentuh. Alurnya yang padat dituturkan dengan gaya yang ringan, jadi siapa pun ga bakal kesulitan untuk memahami isi ceritanya.

Sekali lagi, buku ini benar-benar menarik untuk dibaca (menurut saya lho..). Kita dapat mengambil hikmah (busyet deh, istilahnya.. jarang-jarang lho saya pake istilah 'hikmah') mengenai keteguhan hati dan perjuangan keras Adeline untuk bertahan hidup dan menggapai impiannya di masa depan.

Tapiii, dengan banyaknya penggunaan kata-kata dan kalimat dalam bahasa Cina, yang mana terjemahannya tersebut bukannya ditulis di bawah (sebagai footnote) melainkan di bagian akhir halaman, mau ga mau membuat saya terpaksa terseok-seok bolak-balik halaman dari tempat yang saya baca ke halaman belakang dimana terjemahannya itu berada. Rempong betuuulll.... -__-

Ya, jadi begitulah kira-kira menurut saya tentang isi buku ini. Saya sendiri baru baca buku ini akhir tahun 2008. Tapi, jangan khawatir, sampai sekarang saya masih inget kok sama ceritanya. Hhehe, perkecualian ya untuk buku-buku bagus, saya ga akan lupa ^^
Berita buruknya, saat ini saya ga tau lagi keberadaan buku itu dimana, entah ketinggalan di rumah sodara atau mungkin secara ga sengaja terjatuh di jalan. Who knows. :'(


*4 stars from 5*




Kemari,
Turunlah dari singgasana. Dan rinduku akan kubagi cuma-cuma.

Tuhan, ini doa saya



0 c o m m e n t s
Malam kali kedua, kita masih sibuk cengkerama. Kamu dengan wedang rondenya. Sementara aku, sibuk dengan jadwal ngerondanya. Ironis ya, Lun? *kata saya ke alun-alun.

========

2 hari sebelumnya, pkl 19.20 wib

"Mba, Ibu sakit." 

Satu pesan singkat muncul di layar ponsel. Kabar dari adik saya itu sontak membuat saya langsung kaget. Saya langsung yakin, kalo Ibu saya pasti dalam keadaan yang sangat-jauh-dari-sehat. Saya tau karena minggu sebelumnya keadaannya sudah lemah. Esoknya, saya langsung mengambil kereta pagi. Tujuan saya cuma satu: pulang dan bawa Ibu ke rumah sakit secepatnya. Ya, dan malam ini saya di sini menunggui Ibu. Semua rencana ga penting yg telah saya susun saat di Jakarta langsung saya tunda. No have have fun anymore. Saya cuma memikirkan kesembuhan ibu saya, my beloved mommy, the queen of my heart. 

========

Saat ini. Di ruangan serba putih.

Ibu, 
melihatmu terbujur tak berdaya berselang infus benar-benar buatku ga ingin lepas sekejap pun darimu. Dan ruangan yg serba putih ini, aku bener-bener takut, Bu. Ibu sendiri tau aku selalu ketakutan dengan segala hal peralatan dokter. Jarum suntik, selang infus, jubah putih, itu benda-benda yg selalu ingin kuhindari, kutakuti. Tapi, Bu, kekuatanmu melawan rasa sakit ini membuatku tegar. Membuatku berani menatap aliran infus yg bermuara ke tubuh kurusmu. 

Dan satu lagi ketakutanku, Bu. Aku belum punya keberanian untuk memberitahumu. Ya, aku tak punya keberanian untuk menyampaikan kalo...kalo kaki Ibu harus dibedah. Dan, jari jempol kaki Ibu harus diamputasi. Besok pagi. Aku ga berani, Bu. Selama ini aku belajar untuk kuat, dan semuanya itu kudapatkan darimu. 

Tapi.. ini? Bagaimana aku bisa kuat sementara Ibu sendiri tengah menguatkan diri melawan rasa nyerinya sendiri. Tuhan, berilah aku kekuatan itu. Dan kesehatan untuk Ibuku. Segera.

========

Dalam doaku,
13 November 2011
Rumah Sakit Palangbiru Kutoarjo

Kintamani: taking a deep breath



0 c o m m e n t s
Batur Lake

Putting aside the city's hustle-bustle and relaxe taking a deep breath of fresh air, Kintamani is the sweet choice for letting the time goes and runs. Located in Bangli regency, Kintamani offers a greeny beautiful scenery with magnificent view of Batur volcano and the lake. Batur volcano it self has erupted about 24 times during early year 1800. Many damages happened along it eruption. It's seen from the lines of larvae are still seem obvious around the volcano. Meanwhile, the lake is the largest one in Bali.

Kintamani area is about 160 km2 wide with 15.000 people live around it. They work as farmer and fisherman. And because of the blooming of tourism sector in Kintamani, some of them turned the work into a seller, do a tatto service, rent villas or restaurant business. And starting from Rp. 70.000 - RP. 150.000 per person, you already enjoy the meal. Have an aromatic lunch :))

Batur Volcano







with my travelmate: rima & rista

Suatu saat kamu pasti mengerti



0 c o m m e n t s
"Aku heran kenapa kita nggak bisa seperti dulu lagi," keluhmu sore itu. Dari kejauhan, siluet pepohonan tampak menggelap. Senja sudah berada di batasnya, berteduh berdiam semalaman hingga keesokannya harus kembali berjaga. Aku masih memperhatikan semburatnya saat tersadar kalimatmu masih berlanjut.

"Kenapa sih, kita nggak bisa cerita-cerita lagi, bercanda lagi, tertawa lagi. Ah, seolah semua cerita kita saat ini dipaksakan ada." Ada kekecewaan yang kutemukan dalam nada suaramu kali ini. Aku masih tak peduli. Aku masih ingin menikmati senja sore ini sebelum lenyap tertelan bayang-bayang malam.

"Kayla, ini aku bicara," nadamu mulai tinggi. "Kamu itu sahabatku..."

"Karena sudah seharusnya semuanya berubah, Ben. Kita nggak mungkin lagi bisa seperti dulu-dulu lagi." Kali ini aku yang bicara. Aku sadar suaraku meluruh nyaris tak terdengar.

"Memangnya kenapa?"

Aku kembali diam. Tanpa kusadari, senja menggelincir pelan tenggelam di balik deretan awan. Sial, aku melewatkannya. Gelap mulai mengelilingi kami. Aku ingin segera mengakhiri kebekuan ini semua. Segera aku beranjak tanpa tanpa menggamit lengannya penuh manja seperti biasanya.

"Maafkan aku, Ben. Aku menghindarimu karena itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk tidak mengharapkanmu lebih. Suatu saat nanti kamu pasti mengerti kalau cinta tak harus saling memiliki." Aku berbisik dalam hati.

Disco Berjalan a la Kupang



0 c o m m e n t s
Hari terakhir di Kupang, hari dimana kami punya waktu buat cari oleh-oleh. Beruntung juga, kami dapat jadwal pesawat jam 2 siang. Jadi paginya masih ada waktu buat ngelayap hunting oleh-oleh. Dan, asyiknya pas saya usul buat naek bemo aja, yess, they're agreed with me. Berang-berang makan berkat, mari berangkaaaadd...

Di bawah terik matahari plus udaranya yg sangat panas itu, kami nungguin bemo. Sepuluh menit berlalu, tak satu pun bemo yg lewat. Ebuset, tumben beneeerr..ga mungkin kan di kota Kupang yg indah permai ada aksi mogok? Muka-muka kami sudah mulai menyesuaikan alam. Gosong. Sempat, kami punya niat buat ngojek motor aja. Lagi-lagi, ojek motor yg lewat depan kami cuma satu dua biji, sementara formasi kami masih lengkap (kak Bett, Nay, Ucay, Faly, Aan, dan saya), minus Ray. Jadi, totalnya kami berlima. Yak, berhitung mulai.. #salahfokus


Cihuy, satu bemo muncul. Kami berebut naek. Begitu duduk, saya langsung takjub dengan isinya. Full aksesoris, dari boneka-boneka mungil sampe tempat pegangan tangan (namanya apaan sih -__-) yg beraneka rupa dengan warna-warna mencolok. Belum lagi, musik yg diputar bener-bener kenceng. Alih-alih mencari jawaban dari rasa heran, saya tanya ke salah satu penumpang (bukan kami, tentunya). Rupanya, semakin kenceng musik yg diputar, semakin laku pula bemo itu. Barangkali itu pula, yg bikin bemo lebih mirip disco berjalan. Ga siang ga malam, musiknya tetep menggelegar. Hmm, mari kita dansa, kakaaa... *angkat jempol digoyang :)

empat jam di Semarang (1)



0 c o m m e n t s

had a thousand doors, that's the reason named "Lawang Sewu"
views from the second floor

as far as the eye could see: DOOR


looks so quiet and sounds so spooky -__-

me and the story will be told later  :)

#4: Nyangsang di Goa Monyet



0 c o m m e n t s
Sore di hari ketiga di Kupang, semua pekerjaan kantor udah kelar. Nothing artdoing. Saya menghubungi pak Dominicus, untuk minta salinan foto-foto narsis kami sewaktu mengurut senja di pantai Pasar Panjang. Apa nyana, beliau sedang sibuk. Namun bener-bener deh, kebaikan Bapak yang satu ini begitu tak terperi. Sebelum masing-masing sadar (bukan karena pingsan lho, ya), kami sudah dijemput mobil plus driver yg disiapkan spesial (tanpa rasa bawang) untuk mengantar kami keliling kota. Aduduu.. saya jadi ga enak nih, pak Domi #pencitraan, padahhaaall enak bangeeett... :p

Lima menit kemudian, kami berenam sudah berada dalam mobil yang membawa kami menyusuri pinggiran kota Kupang. Dari obrolan dengan driver, akhirnya saya tau kalo Bapak yg mengantar kami tersebut adalah adik kandungnya pak Daniel Sahuleka, yg notabene adalah mitra kerja kantor kami di Jakarta. Olalaa... dunia bener-bener selebar daun kelor ya? Etapi, ngomong-ngomong kita mau jalan ke mana nih? *tujuan utama tetep inget doong :)

Tanpa destinasi yang jelas, kami cuma putar-putar sembari menikmati langit Kupang yang mulai tampil genit #tsahh. Yang sebentar-sebentar semburat jingganya muncul dan tenggelam tertutup awan. Suka deh liatnya!!

Hahh, apaa? Gua monyet?? elu aja kaliii... :p
Akhirnya, kami sepakat menghabiskan senja di Pelabuhan Tenau. Saya yakin, dimanapun dan bagaimanapun bentuknya senja selalu tampil cantik. Dan, pasti semua setuju kaan.. dengan kata-kata saya barusan? Baiklah, kalo begitu kita melaju ke sana. Brangkaaaadd....

#4: A warm-hearted Linda



0 c o m m e n t s
Hello, here my new friend,
LINDA
She like teasing you, but spoiled too
Wonna meet her, even her families? Just visite them to Goa Monyet, Kupang
Trust me, they are so friendly and sociable
^^

Toretttttooorreeeettttorreeeeeettt.. *intro*

Momen ini dipersembahkan oleh SAYA dan LINDA
cheeeeessee :))

#4: selimut langit jingga



0 c o m m e n t s
Tsahh, ini kenapa judulnya jadi ngingetin saya sama novel-novel stensilan ya? (#abaikan, plis) padahal sebenarnya bukan itu lho, maksud saya. yakin deh sama saya. eh bukannya ada kan ya, pepatah 'apalah arti sebuah nama'? nahh, itu yg kejadian saat ini *melipir

Sebenarnya sih tadi itu mendadak bingung aja mau kasih judul apa buat mendeskripsikan langit Kupang yang memang selalu berwarna jingga tiap kali matahari mau terbenam (dalam catatan, kalo keadaannya lagi ga mendung ato hujan lho ya?) karena (kebetulan) pas saya ke sana, Kupang lagi musim kemarau dan memang menurut masyarakat setempat, Kupang jarang sekali hujan. mungkin dalam setahun, hujan cuma 2-3 bulan aja gitu, itupun jarang-jarang (ga tiap hari hujan). nah loh.. pantes aja kalo banyak taneman yg gersang plus udara yg panas yaa? *huft, ga bisa bayangin gimana cara kalo saya menetap di sana, hm pasti kulit saya langsung coklat eksotis gitu kali yaa.. *ngarep

Et voila, beberapa warna-warni langit Kupang yang berhasil saya bingkai. and yess, i am in love with those wonderful skies, sooo much love.. ^^

And, look at the bottom.. triiingg... ada SAYA yang sedang menikmati sunset, hhehe... *sending thanks for Faly yg udah berbaek hati motretin saya (hm, yey lagi ga ada maunya kan, faleyy? iya kan, bener kaann? jujur deh sama eike. ayoks, jujur..!!).

look at my pinky flio-flop, soo ngejreng, hehe...

admiring the sunset, subhanallah cantiknya...

Beta Su Pi Kupang, Kaka...



0 c o m m e n t s
Monumen Sasando
"Selamat datang di kota Kasih, Kaka.." sapa gadis-gadis cilik itu kepada kami. 

Ngga nyangka!! Saya bisa bertandang ke kota ini. Dalam benak saya, pastilah Kupang itu kota yang panas dengan pemukiman yang jarang penduduk. Eh benar juga, begitu kaki menyentuh bandara El Tari, kepala saya mendadak langsung gatal-gatal gegara kena sengatan matahari. Belum lagi, kaki saya yang hanya beralaskan sepatu terbuka― dalam hitungan menit langsung belang-belang. Oya, ralat. Bukan mataharinya yang panas, tapi udaranya. Yep, udara Kupang memang panas.

"Hm, barangkali itu pula kali ya, yang bikin penduduk sini kebanyakan jadi gelap-gelap kulitnya." *langsung ditoyor warga sekampung. Maaf, bukan maksudnya rasis yaa, tapi buat saya sendiri sih jelas ada kaitannya antara udara yang panas dan kulit yang gelap. Saya kan sering ngalamin, muka langsung gosong gara-gara panas-panasan tanpa sunscreen padahal cuma sekitar 15 menitan, dan nyatanya itu cukup sukses buat penggelapan kulit. Apalagi buat yang selamanya tinggal di kota ini? Ups, ini kenapa saya malah makin ngaco ceritanya. #salahfokus

Oke, jadi dalam perjalanan menuju hotel, tempat kami nginap, lagi-lagi saya dibuat heran (lagi). Ini kenapa dari tadi yang diliat kanan kiri cuma semak-semak pepohonan gersang doang, di mana pemukimannya? Sedari dulu bentuk-bentuk rumah penduduk menjadi salah satu daya tarik tersendiri buat saya tiap kali ada kesempatan bepergian ke daerah, jadi wajar dong kalau saya penasaran? Tidak begitu lama, rasa penasaran itu terjawab sudah. Satu per satu rumah penduduk mulai nampak. Hahh?! Lagi-lagi saya kaget dan.. heran begitu liat atap rumah-rumah tersebut: S-E-N-G. Bagaimana mungkin, mereka bisa tinggal di dalam rumah tersebut sementara udara di Kupang sendiri sangat panas. Sukses bikin saya geleng-geleng kepala. *tariiiik, mang..

Menikmati udara perkotaan yang mulai terasa panas, menunggu kejutan apalagi yang akan saya temui di jalan. Sepanjang perjalanan driver yang sudah terlihat sok akrab mulai cerita tentang kondisi geografis Kupang, terletak di atas hamparan batu karang yang tandus. Sebagian rumah menggunakan tembok kayu dan seng, dan hanya sebagian kecil yang sudah menggunakan tembok beton. 

Begitu masuk kota, kami disambut tugu kampus Universitas Nusa Cendana (Undana), yang konon kampus terbesar di kota ini. Sayangnya, mobil melaju terlalu kencang. Gagal deh niat saya buat memotretnya.

Nah, kalau ngobrolin tentang kuliner khas Kupang nih, ada baiknya kalau mencoba yang namanya Pisang Gepe, pisang bakar yang disiram air gula aren dan kacang tanah tumbuk. Konon, pisang ini banyak dijajakan di sepanjang pantai Lasiana dan dihargai 1000-2000 rupiah per biji. Berhubung saya nggak ada waktu buat bermain-main ke pantai Lasiana, jadi saya cukup mencicipinya yang bebetulan ada yang jual di deket-deket tempat kami nginap. Makanan ringan (err.. yakin nih cuma sebatas ringan?) ini merepresentasikan pencaharian keseharian masyarakat NTT sebagai penghasil pisang. Hm, sedaaapp..

late dinner at Restaurant Nelayan ;)

Kupang sukses bikin paras makin seksi nan eksotis *uhukk
Location: Hotel Kristal, KUPANG

Beta su pi Kupang, Kaka.... :))

Pulang



0 c o m m e n t s
Dan lalu...
Rasa itu tak mungkin lagi kini
Tersimpan di hati
Bawa aku pulang, rindu!
Bersamamu!

Dan lalu...
Air mata tak mungkin lagi kini
Bicara tentang rasa
Bawa aku pulang, rindu!
Segera!





0 c o m m e n t s
kamu adalah sebingkai foto yang tercipta hanya untuk kutatap dari kejauhan

~nini~




0 c o m m e n t s
Melihatmu sekali, 
terjatuh aku dalam tatap matamu yang teduh. 
Menjelmakanku dalam cinta. 
Aih...


Ps.
ikut-ikutan galau gara-gara #cecintaan nya mba @lalapurwono -_-

Cinta Buta: Saya Pernah Tuh



0 c o m m e n t s
Apa? Cinta buta? Saya pernah ngalamin beberapa tahun yang lalu. Waktu saya masih kuliah dan baru putus dari mantar pacar sebelumnya. Saya ketemu dengannya juga dalam keadaan kebetulan. Salah seorang teman mencoba menghibur dengan mengajak saya ke salah satu pertunjukan band indie di kota pelajar tersebut. Di situ, saya dikenalkan dengan salah satu vokalis. Saya kira ga perlu ya disebut namanya. Nah, dasarnya saya suka nyeplos, saya langsung bilang kalau suka dengan performancenya. Itu pernyataan jujur sih. Saya benar-benar suka. Dan terhibur, tentunya. Ups, ternyata eh ternyata dia kakak teman saya. Sumpah deh, saya sempat malu saat itu. Masih terbayang bagaimana merahnya muka saya ini. Mujurlah, kejadiannya saat itu malam hari jadi saya merasa diberkati. Hhaha..

Haagen-Dazs: es krim yang bikin meleleh



0 c o m m e n t s
minggu kemarin, iseng-iseng ikutan kuisnya salah satu majalah traveling gegara tertarik sama giftnya (mungkin biasalah yaa, suka tertarik ikutan kuis kalo gift-nya juga catchy.. eh tapi iya ga siih? *jd ragu sendiri). daan.. nyatanya saya dinyatakan menang! horee untuk saya, yeaayy.. *dancing

ta raa.. seminggu kemudian, 2 voucher Haagen-Dazs sudah melambai-lambai di tangan ^^

tadaa... inilah vouchernya :))
at least, sepulang jam kantor kami (sebut saja, 4 kurcaci) meluncur ke tekape, cafe Haagen-Dazs yg ada di GI (kebetulan lokasi itu yg paling deket sama kantor dan harga terjangkau). dasarnya emang lg starving banget plus excited pgn nyobain macem2 menu... jadinya, kita pesennya juga ga kira-kira --dari banana split, brownies explotion, belgian waffle dream, cappuchino trufle, sampe strawberry cheese cake. yuhhuu... i like ice cream!! 

mungkin kalo ga malu, udah kita embat semua ice cream yang ada di HD (hhaha, jadi malu-malu mau banget lietnya). etapi kan, saya ga sendirian yaa, errr... jadi wajar dong yaa kalo pesen segitu banyaaakk, toh.. pada akhirnya habis juga kok. *menatap ke celana yg mendadak ga bisa dikancingin lagi...

belgian waffle dream pesenannya #kurcaci 1

banana split pesenannya #kurcaci 2

pesenannya #kurcaci 3

another crispy-side, nyammy...

cappuchino trufle pesenan  #kurcaci 4

oiya, sebenernya masih ada 2 menu lagi sih *kalem
whaattt?? ishh, jangan terkaget-kaget gitu dehh, malu tauk kalo sampe diliat orang >.<
hhehe, makanya ga usah diupload lagi aja yaa, biar ga kliatan maruknya :p

xoxo,

I love the way they present themselves



0 c o m m e n t s


yess, I am a big fan of U2 and dont ask what the reason *wink
hey, wonna know more about them? lets visite their blog or click here (wiki)


Xoxo,
a huge fan of U2

Rasaku



0 c o m m e n t s
picture taken from here

inikah rasayang kurasa,
tersudut yang terpasung,
ketika kulihat bunda masihsaja memasak air mata,
sajian kasihsayang sejati, abadi, dan ...


*tulisan lawasmendadak kangen ibu' T_T 


ART of doing nothing



0 c o m m e n t s
Belakangan ini, kenapa ya saya lebih suka menghabiskan weekend di rumah aja. I just did an art of doing nothing, leyeh-leyeh ga jelas. Begitulah.
picture taken from here
Padahal sih, kalo jujur-jujuran saya bukan type orang rumahan lho. Dulu, pada saat masih tinggal di rumah bisa dipastikan saya pulang hanya untuk kebutuhan domestik (makan, mandi, tidur). Selanjutnya, saya pake buat 'klayapan' :D
Tapi sekarang, boro-boro mau ngelayap. Tau jalan aja, engga :D Bener-bener deh, di kota ini saya buta arah. Tiap kemana-mana ngandalin ojeg ato teksong (baca: taxi). Tapi, lagi-lagi untuk pilihan terakhir ini cuma saya andalin kalo jalanan lagi ga macet. Dan, sepertinya Jakarta ditakdirkan untuk selalu macet. Dan lagi, parahnya ntah kenapa saya kayak tersugesti kalo kemacetan akan menstimulus rasa pusing lebih cepat dibanding rasa pusing di hari-hari biasa :'(
Ya, that's why salah satu alasan kenapa saya milih tinggal di kos'an deket kantor. Selain ga macet, ga pusing, juga lebih sehat karena harus jalan kaki :)

Dear Papa: buku penuh cinta untuk ayah



0 c o m m e n t s

Dear Papa... #5

Buku penuh cinta persembahan untuk para ayah dari anak-anaknya.

Berawal dari project #DearPapa yang diselenggarakan nulisbuku dan diprakarsai sama mba Lala (@lalapurwono) & mba Meity (@MeityIskandar) yang bikin timeline saya sukses mabuk kebayang sama rayuan-rayuannya dan at least meracuni saya buat ikut-ikutan nulis. Hm, dan nyatanya saya sangat bergairah termakan racunnya :D (racun yang baik *puk puk)

Nah, di buku ini tulisan-tulisannya kebanyakan (emang dimintanya sih) lebih menyerupai surat cinta, cihuy... *mata langsung kedip-kedip genit. Jadi, bisalah dibayangin gimana wujudnya, hm.. mirip-mirip Chicken Soup for The Soul atau Gift From The Heart gitu deh (ketinggian ga sih ngayalnya?? *cepet bangunin saya). Tapiii.. terlepas dari semua itu, yang bikin buku makin keren adalah karena proyek ini bentuknya charity. Jadi, semua hasil penjualan buku dikumpulin terus disampaikan ke salah satu panti jompo yang ada di surabaya :)

Eh eh eh, tulisan saya sendiri ada di bagian tengah. Kalo ga salah sih, di halaman 58. Baca ya? Baca ya? Belinya bisa lewat nulisbuku, atau kirim via surel ke admin@nulisbuku.com

Karena Aku, Anak Ayah!



0 c o m m e n t s

Picture taken from here

Ayah,

Mengingatnya saja sudah membuatku berkaca-kaca. Entah, serasa ada relung yang tersentil. Mendadak ada yang menyesaki rongga tempatku bernafas. Ya, selalu saja ada rasa getar tiap kali menyebut namanya. Aku tahu alasannya kenapa. Tentu saja! Karena aku, anak Ayah. Ibu juga mengakui begitu. Barangkali karena aku yang selalu dimanjanya dibanding adikku. Barangkali karena aku anak perempuan satu-satunya. Barangkali karena, ah, entah aku tak punya cukup alasan kenapa Ayah selalu memperlakukanku dengan lembut. Meski Ayah bukanlah teman diskusiku yang tak lebih baik daripada Ibu. Meski Ayah bukanlah seseorang yang bisa mendengarkan curhatanku seperti yang biasa Ibu lakukan. Tapi, Ayah punya rasa cinta yang besar terhadapku. Wajar, kalau sampai sekarang aku masih ingin selalu bergelayut di pundaknya. Erat memeluknya hingga terbuai dalam kanvas mimpi. Tapi, lagi-lagi rasanya itu sulit sekali karena aku sudah tak tinggal bersama mereka lagi -Ayah dan Ibu- karena pekerjaanku mengharuskannya begitu. Tetapi tetap saja, aku anak Ayah!!

Miss you, crazy idea



0 c o m m e n t s
Belakangan ini, entah kenapa saya seringkali merasa stuck. Sementara banyak ide-ide yang mostly crazy yang terlewat, terbersit, terlintas di dalam naungan sel-sel kelambu otak saya. Tapi itu semua tetap tidak menggugah gairah saya untuk menulis. Saya lebih suka membiarkan ide-ide tersebut tetap berkeliaran di otak saya, dan sampai akhirnya saya menyadari ide-ide tersebut sudah lenyap berganti dengan ide gila lainnya.
Meski, saya tau pokok dari permasalahan ini: kemalasan saya sendiri untuk menulis. Tapi saya masih suka menyalahkan kota ini (baca: metropolitan) sebagai penyebab kemampetan ide brillian saya.
newer post older post