Ibu, Sebenar-benar Guruku



0 c o m m e n t s

photo credit here

Bu,

Untuk sekian kalinya aku tulis surat dan tak pernah bosannya aku menulis cerita tentangmu. Tapi ini bukan lagi ceritaku tentang kuliah atau curhatku tentang kekasih seperti yang dulu selalu aku sampaikan ke Ibu. Tapi ini cerita tentang semua kisah kita dulu, Bu. Berharap saja, aku masih bisa mengingat semuanya. Tapi tunggu dulu, kali ini Ibu tak perlu lagi membalasnya. Ibu cukup membacanya saja karena tulisanku kali ini lebih mudah dibaca dan tersusun rapi. Tentu saja, karena suratku kali ini aku ketik. Aku masih ingat tiap kali menerima suratku. Makin hari bukannya makin rapi, tulisanku malah makin ga jelas dibaca :)

Hm, entah kenapa ya Bu, dulu aku suka sekali cerita lewat surat. Padahal melalui telepon pun kita sebenarnya bisa. Katamu, biar aku terbiasa menulis. Katamu, biar suatu saat aku bisa mencipta satu cerita panjang. Aku pun berharap begitu, Bu. Nyatanya, sampai sekarang cerita-ceritaku hanya teronggok di laci meja. Tak kunjung selesai. Dan sekarang, rasa-rasanya aku sudah lama sekali tak pernah cerita lagi ke Ibu. Sepertinya, kau pun tak mau lagi baca kisah-kisahku mengingat tulisanku yang makin acak-acakan.

"Mata Ibu pedas baca tulisanmu, Nak. Mata Ibu makin menua."

Sejak itu, aku tak pernah lagi berkirim surat. Kita berbagi cerita di teras rumah, di meja dapur, atau di depan tv yang menyala. Meski, lagi-lagi aku yang mendominasi cerita, toh Ibu selalu berbinar mendengar semua ceritaku. Bu, Aku baru sadar tentang alasanmu yang mulai enggan baca kisahku. Itu karena kesehatanmu yang sudah mulai menurun.

Falling Leaves: the true story of an unwanted chinese daughter



0 c o m m e n t s

 Title: Falling Leaves
Author: Adeline Yen Mah


What a Novel !!
I'm sure, u wouldn't wonna put it aside & finish later :))

Yess, it's a true story about a Chinese girl growing up in China before the second World War and her migration to USA. It includes a psychoanalytic approach to writing a novel, in which the author has looked back on her personal & intimate life and recalls some of her worst memories, great memories, and not-so-bad thoughts of her life experiences. 

 *****

Selain pada isi cerita yg mengharu-biru, keistimewaan dari novel ini juga terletak pada settingnya. Jadi, di samping menampilkan latar orientalis yang sangat kental, Adeline juga melukiskan situasi perpolitikan China sejak akhir abad XIX di bawah kekuasaan Dinasti Qing sampai era Deng Xiaoping di akhir abad XX. Walhasil, novel ini memotret 2 sisi; sejarah individu & sejarah sebuah bangsa sekaligus. 
Sadly, beragam peristiwa sejarah tersebut tidak semuanya tersorot secara mendetail, khususnya sejarah pembebasan bangsa China sendiri ketika lepas dari imperialisme asing (Eropa). 

But, out of the plot, it's really an inspiring novel that smart & honest, dan.. tentu saja sangat menyentuh. Alurnya yang padat dituturkan dengan gaya yang ringan, jadi siapa pun ga bakal kesulitan untuk memahami isi ceritanya.

Sekali lagi, buku ini benar-benar menarik untuk dibaca (menurut saya lho..). Kita dapat mengambil hikmah (busyet deh, istilahnya.. jarang-jarang lho saya pake istilah 'hikmah') mengenai keteguhan hati dan perjuangan keras Adeline untuk bertahan hidup dan menggapai impiannya di masa depan.

Tapiii, dengan banyaknya penggunaan kata-kata dan kalimat dalam bahasa Cina, yang mana terjemahannya tersebut bukannya ditulis di bawah (sebagai footnote) melainkan di bagian akhir halaman, mau ga mau membuat saya terpaksa terseok-seok bolak-balik halaman dari tempat yang saya baca ke halaman belakang dimana terjemahannya itu berada. Rempong betuuulll.... -__-

Ya, jadi begitulah kira-kira menurut saya tentang isi buku ini. Saya sendiri baru baca buku ini akhir tahun 2008. Tapi, jangan khawatir, sampai sekarang saya masih inget kok sama ceritanya. Hhehe, perkecualian ya untuk buku-buku bagus, saya ga akan lupa ^^
Berita buruknya, saat ini saya ga tau lagi keberadaan buku itu dimana, entah ketinggalan di rumah sodara atau mungkin secara ga sengaja terjatuh di jalan. Who knows. :'(


*4 stars from 5*




Kemari,
Turunlah dari singgasana. Dan rinduku akan kubagi cuma-cuma.

Tuhan, ini doa saya



0 c o m m e n t s
Malam kali kedua, kita masih sibuk cengkerama. Kamu dengan wedang rondenya. Sementara aku, sibuk dengan jadwal ngerondanya. Ironis ya, Lun? *kata saya ke alun-alun.

========

2 hari sebelumnya, pkl 19.20 wib

"Mba, Ibu sakit." 

Satu pesan singkat muncul di layar ponsel. Kabar dari adik saya itu sontak membuat saya langsung kaget. Saya langsung yakin, kalo Ibu saya pasti dalam keadaan yang sangat-jauh-dari-sehat. Saya tau karena minggu sebelumnya keadaannya sudah lemah. Esoknya, saya langsung mengambil kereta pagi. Tujuan saya cuma satu: pulang dan bawa Ibu ke rumah sakit secepatnya. Ya, dan malam ini saya di sini menunggui Ibu. Semua rencana ga penting yg telah saya susun saat di Jakarta langsung saya tunda. No have have fun anymore. Saya cuma memikirkan kesembuhan ibu saya, my beloved mommy, the queen of my heart. 

========

Saat ini. Di ruangan serba putih.

Ibu, 
melihatmu terbujur tak berdaya berselang infus benar-benar buatku ga ingin lepas sekejap pun darimu. Dan ruangan yg serba putih ini, aku bener-bener takut, Bu. Ibu sendiri tau aku selalu ketakutan dengan segala hal peralatan dokter. Jarum suntik, selang infus, jubah putih, itu benda-benda yg selalu ingin kuhindari, kutakuti. Tapi, Bu, kekuatanmu melawan rasa sakit ini membuatku tegar. Membuatku berani menatap aliran infus yg bermuara ke tubuh kurusmu. 

Dan satu lagi ketakutanku, Bu. Aku belum punya keberanian untuk memberitahumu. Ya, aku tak punya keberanian untuk menyampaikan kalo...kalo kaki Ibu harus dibedah. Dan, jari jempol kaki Ibu harus diamputasi. Besok pagi. Aku ga berani, Bu. Selama ini aku belajar untuk kuat, dan semuanya itu kudapatkan darimu. 

Tapi.. ini? Bagaimana aku bisa kuat sementara Ibu sendiri tengah menguatkan diri melawan rasa nyerinya sendiri. Tuhan, berilah aku kekuatan itu. Dan kesehatan untuk Ibuku. Segera.

========

Dalam doaku,
13 November 2011
Rumah Sakit Palangbiru Kutoarjo

Kintamani: taking a deep breath



0 c o m m e n t s
Batur Lake

Putting aside the city's hustle-bustle and relaxe taking a deep breath of fresh air, Kintamani is the sweet choice for letting the time goes and runs. Located in Bangli regency, Kintamani offers a greeny beautiful scenery with magnificent view of Batur volcano and the lake. Batur volcano it self has erupted about 24 times during early year 1800. Many damages happened along it eruption. It's seen from the lines of larvae are still seem obvious around the volcano. Meanwhile, the lake is the largest one in Bali.

Kintamani area is about 160 km2 wide with 15.000 people live around it. They work as farmer and fisherman. And because of the blooming of tourism sector in Kintamani, some of them turned the work into a seller, do a tatto service, rent villas or restaurant business. And starting from Rp. 70.000 - RP. 150.000 per person, you already enjoy the meal. Have an aromatic lunch :))

Batur Volcano







with my travelmate: rima & rista
newer post older post