1 Januari 2012
Perjuangan hebat untuk sekedar bisa mengunjungi tempat ini, Pantai Laguna Pari. Kami harus tracking dulu menyusuri perkebunan dengan kondisi jalan yang curam dan licin, pantai yang ratusan meter jauhnya, dan karang-karang yang cukup terjal. Dua kilometer kami lalui dengan membiarkan terpaksa kulit terpanggang matahari yang (masih) terik. Dan, yah nggak ada perjuangan yang sia-sia kan ya? Kami tiba di laguna dengan selamat, hehe.. Parahnya, kami langsung pesan kelapa muda segar di warung (satu-satunya) persis tepi pantai, dan masing-masing pesan sebutir besar :D *slurp*
Oya, karena kondisi air lautnya yang tenang, pantai Laguna Pari dijadikan tempat bagi nelayan Dusun Gempol ―bagian dari Desa Sawarna― untuk melabuhkan perahu. Makanya ―karena kecapekan tracking― pas mau balik lagi ke homestay yang berjarak 2 km, kami sepakat untuk menyewa perahu. Cihuy, melaut lagi. Tambah senangnya lagi karena kami melewati Pantai Tanjung Layar lagi, yeiyy. Sayangnya, begitu perahu menepi di Pantai Ciantir, saya turun paling terakhir, dan... yang terjadi kemudian adalah saya terjatuh keterjang ombak. Hiks.. lupa kalau ombak pantai Ciantir itu sadis. Siang hari pula.
Beberapa jam sebelumnya. Setengah perjalanan menuju Laguna Pari dengan panas terik yang menyengat kami lalui dengan menyusuri Pantai
Karang Tareje, pantai berkarang yang membentang sepanjang Laguna Pari hingga Pantai Sepang. Di pantai ini terdapat banyak cekungan karang yang membentuk kolam di celah-celahnya. Selain berisi air, cekungan-cekungan tersebut juga dipenuhi ikan-ikan kecil. Lucuuu... ^^
Oya, kenapa dinamakan Karang Tareje karena saat menyusuri pantai tersebut, pada titik tertentu kita harus menaiki 'tareje'
―dalam bahasa Sunda artinya tangga
― yang terbuat dari kayu agar kita bisa menaiki karang tersebut dan melanjutkan eksplorasi menuju pantai berikutnya. Selain itu, bentangan karang yang menyerupai trap atau undak-undakan juga menjadi alasan penamaan pantai ini.
While, Lagoon Pari, it's such a hidden paradise. Tidak seperti Pantai Ciantir dimana gelombangnya cukup tinggi dan (katanya) ganas, di Laguna Pari airnya sangat tenang sehingga kita bisa bebas berenang di laut lepas. Saya sih cukup jadi penontonnya aja sambil duduk-duduk di cakruk, tempat duduk dari bambu yang (biasanya) diapit diantara 2 (dua) pohon.
Yang sedikit saya sesalkan selama di laguna ini adalah kami gagal menangkap sunrise. Lokasi pantai yang berada di sisi timur menjadikan kawasan ini sangat ideal untuk melihat matahari terbit. Nah, malam sebelumnya, kami ―beberapa orang di homestay― sudah berencana untuk berangkat sebelum subuh biar kami bisa menikmati sunrise di Laguna Pari. Toh rencana tinggal rencana. Nyatanya kami baru berangkat jam 8 pagi, hhaha.. gimana bisa catching the sunrise kalau giniiih? Yang ada mah matahari sudah berada tepat di tengah ubun-ubun kepala. Panasnya bener-bener nggak nyante. Tapi yang jelas, kami kehilangan semburat jingga keemasan untuk kedua kalinya. Kecewa.
Terlebih pas kami balik ke Jakarta sore harinya. Mobil elf dari travel agen yang kami tumpangi macet dan bahkan nggak cukup kuat buat nanjak. Alhasil kami diminta turun dari mobil dan terpaksa harus jalan kaki menaiki tanjakan sejauh 200 meter. Mana saya kepisah lagi sama Dul A dan Dul H. Belum lagi kalo keinget AC yang bocor. Arghh, kecewa kuadrat. Note to self aja sih, itu travel agen nggak recomended banget. Bangettt!!