Menunggu



0 c o m m e n t s
Aku menatap sekilas arloji yang melekat di tangan kiri. Jarum pendek menunjuk angka empat. Itu berarti sebentar lagi kamu akan tiba di rumah. Aku bisa bayangkan kamu yang sedang menuju lokasi parkir, bergegas membuka pintu mobil, menyalakan mesin seraya mengucap doa, lalu menyapa petugas parkir, dan saat ini kamu sudah berada di jalan raya, memacu kendaraan dengan kecepatan sedang, bergumul dengan kemacetan khas ibukota.

Di teras depan rumah mungil kita ini, aku menunggu kepulanganmu. Berteman secangkir teh chamomile hangat yang sedari tadi masih kupegang erat di tangan. Kusesap airnya sedikit-sedikit dan kuhirup aroma wangi renyahnya tak henti-henti. Seperti mukaku yang jua tak henti-hentinya tersenyum. Tak sabar mengabarkan berita gembira ini.

Kuelus pelan perutku yang masih rata. Aku terkikik geli. Aku belum terbiasa. Ya, ada calon kehidupan baru sedang terlelap di sana. Baru tiga minggu. Aku mengetahuinya dari dokter kandungan yang tadi pagi kutemui. Benar, ini anugrah. Ini karunia terbesar dalam hidup kami. Terang saja, karena setelah empat tahun menunggu akhirnya Tuhan mempercayakannya kepada kami. 


Aku pikir ini akan jadi kejutan terindah buatmu. Makanya, aku ingin menyampaikannya langsung padamu saat sudah tiba di rumah nanti. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri. Aku mulai membayangkan reaksimu begitu mendengar kabar indah ini.

Satu jam berlalu. Kutatap pintu gerbang yang masih juga sama dengan posisi semula, tertutup. Sosokmu belum juga terlihat. Biasanya jam segini kamu sudah datang. Kalaupun ada meeting atau acara kantor lainnya, pasti kamu tak pernah lupa kasih kabar. Pun di saat-saat terjebak, kamu kadang masih sempat sms. Sekedar kasih tahu kalau kepulanganmu agak sedikit terlambat.

Satu jam menginjak dua jam. Aku mulai didera panik. "Bhuana, apa yang sedang terjadi?" Setengah tergesa kuraih ponsel di meja. Kutekan tombol hijau begitu layar LCD menampilkan namamu.

"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar area."

Aku tak percaya. Tak biasanya suamiku mematikan ponselnya saat jam-jam pulang kantor seperti ini. Kuulang lagi menghubungi ponsel smartnya itu. Berharap kali ini kudapati jawaban yang lain. Suara baritonnya Bhuana, suara yang selalu aku rindu.

Lagi-lagi, jawaban yang kuterima masih sama. Tidak aktif. Aku terkulai lemas. Aku cemas. Setengah jiwa di ragaku serasa melayang. Sebelum semuanya tampak gelap, masih kudengar lamat-lamat suara adikku berbisik di telinga.

"Kak, masuk dulu yuk. Pengajian tujuh hari mas Bhuana mau segera dimulai."

********

0 c o m m e n t s:

Post a Comment

leave your footprint here and it will be my pleasure :)

newer post older post