Picture taken from here |
Ayah,
Mengingatnya saja sudah membuatku berkaca-kaca. Entah, serasa ada relung yang tersentil. Mendadak ada yang menyesaki rongga tempatku bernafas. Ya, selalu saja ada rasa getar tiap kali menyebut namanya. Aku tahu alasannya kenapa. Tentu saja! Karena aku, anak Ayah. Ibu juga mengakui begitu. Barangkali karena aku yang selalu dimanjanya dibanding adikku. Barangkali karena aku anak perempuan satu-satunya. Barangkali karena, ah, entah aku tak punya cukup alasan kenapa Ayah selalu memperlakukanku dengan lembut. Meski Ayah bukanlah teman diskusiku yang tak lebih baik daripada Ibu. Meski Ayah bukanlah seseorang yang bisa mendengarkan curhatanku seperti yang biasa Ibu lakukan. Tapi, Ayah punya rasa cinta yang besar terhadapku. Wajar, kalau sampai sekarang aku masih ingin selalu bergelayut di pundaknya. Erat memeluknya hingga terbuai dalam kanvas mimpi. Tapi, lagi-lagi rasanya itu sulit sekali karena aku sudah tak tinggal bersama mereka lagi -Ayah dan Ibu- karena pekerjaanku mengharuskannya begitu. Tetapi tetap saja, aku anak Ayah!!