photo credit here |
Bu,
Untuk sekian kalinya aku tulis surat dan tak pernah bosannya aku menulis cerita tentangmu. Tapi ini bukan lagi ceritaku tentang kuliah atau curhatku tentang kekasih seperti yang dulu selalu aku sampaikan ke Ibu. Tapi ini cerita tentang semua kisah kita dulu, Bu. Berharap saja, aku masih bisa mengingat semuanya. Tapi tunggu dulu, kali ini Ibu tak perlu lagi membalasnya. Ibu cukup membacanya saja karena tulisanku kali ini lebih mudah dibaca dan tersusun rapi. Tentu saja, karena suratku kali ini aku ketik. Aku masih ingat tiap kali menerima suratku. Makin hari bukannya makin rapi, tulisanku malah makin ga jelas dibaca :)
Hm, entah kenapa ya Bu, dulu aku suka sekali cerita lewat surat. Padahal melalui telepon pun kita sebenarnya bisa. Katamu, biar aku terbiasa menulis. Katamu, biar suatu saat aku bisa mencipta satu cerita panjang. Aku pun berharap begitu, Bu. Nyatanya, sampai sekarang cerita-ceritaku hanya teronggok di laci meja. Tak kunjung selesai. Dan sekarang, rasa-rasanya aku sudah lama sekali tak pernah cerita lagi ke Ibu. Sepertinya, kau pun tak mau lagi baca kisah-kisahku mengingat tulisanku yang makin acak-acakan.
"Mata Ibu pedas baca tulisanmu, Nak. Mata Ibu makin menua."
Sejak itu, aku tak pernah lagi berkirim surat. Kita berbagi cerita di teras rumah, di meja dapur, atau di depan tv yang menyala. Meski, lagi-lagi aku yang mendominasi cerita, toh Ibu selalu berbinar mendengar semua ceritaku.
Bu,
Aku baru sadar tentang alasanmu yang mulai enggan baca kisahku. Itu karena kesehatanmu yang sudah mulai menurun.